Reaksi FPI (Front Pembela Islam) –anti Ahmadiyah– terhadap AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) –pembela Ahmadiyah– di Monas, Jakarta, tanggal 01 Juni 2008 lalu, kemudian ada aksi pembelaan terhadap AKKBB yang dilakukan oleh Garda Bangsa terhadap FPI. Bukan hanya Garda Bangsa, tetapi ada juga laskar dari GP Anshor dan PBM (Pasukan Berani Mati) yang melakukan aksi serupa.

Dari situ timbul kesan, seolah-olah umat Islam berkonflik dengan sesama umat Islam. Padahal, kesan seperti itu sama sekali keliru. Sebab, FPI dan Habib Rizieq bila dipahami secara madzhab adalah bagian tak terpisahkan dari NU (Nahdlatul Ulama). Bahkan FBR (Forum Betawi Rempug) yang selama ini seakan dimaknai sebagai ormas anarkis, bila ditinjau dari sudut pandang kultural dan madzhab, mereka itu komunitas NU atau Islam tradisional pro adat local –yang belum tentu sesuai dengan Islam– juga.

Kasusnya, FPI anti Ahmadiyah, AKKBB beserta GP Anshor dan PBM membela Ahmadiyah.

Sejak berdirinya, NU mengusung madzhab Syafi’i. Dengan tujuan, untuk melestarikan hal-hal yang menjadi tradisi masyarakat. Tradisi-tradisi tersebut bila ditinjau dalam perspektif Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih, sesungguhnya menyimpang dari Islam. Dan biasanya disebut bid’ah, takhayul dan khurafat, bahkan kemusyrikan.

Artinya, Habib Rizieq itu unsure sejenis dengan NU. Gus Dur memang NU. FPI itu sejenis dengan NU. Begitu juga dengan Garda Bangsa, Anshor dan Pasukan Berani Mati, adalah buatan orang-orang NU dan untuk NU. Dari sini semoga jelas duduk soalnya, siapa yang tengah berkonflik itu?

Seorang peneliti asal Belanda yang pernah melakukan studi tentang ormas NU (Nahdlatul Ulama), Karel A. Steenbrink mengatakan, Nahdlatul Ulama yang didirikan 31 Januari 1926, muncul sebagai protes terhadap gerakan reformasi, juga dari kebutuhan untuk mempunyai organisasi yang membela mazhab Syafi’i dan menyaingi organisasi Muhammadiyah dan Al-Irsyad.

Pernyatan senada juga disampaikan oleh peneliti Indonesia, H. Endang Saifuddin Anshari, MA. Beliau mengatakan, Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya, di bawah pimpinan Syaikh Hasyim Asy’ari, sebagai reaksi terhadap gerakan pembaharuan yang dibawa terutama oleh Muhammadiyah dan lain-lain.

Kita menyaksikan dalam kehidupan, sering diungkapkan oleh orang NU sendiri tempo dulu dan kini diulang lagi, yang mereka hadapi adalah Wahabi, yang anti kemusyrikan, bid’ah, khurofat, takhayul dan semacamnya. Mereka (kaum nahdliyin, habaib, dan golongan tradisional) mempertahankan hal-hal yang menyimpang dari Islam itu dalam acara-acara bid’ah pula, misalnya tahlilan dan maulidan.

Muhammadiyah didirikan tahun 1912 oleh KH Ahmad Dahlan, empat belas tahun sebelum berdirinya NU. Dengan tujuan, memberantas bid’ah, takhayul dan khurafat, bahkan kemusyrikan yang saat itu merajalela di dalam kehidupan masyarakat. Sayangnya, kini Muhammadiyah kurang gaungnya dalam hal memberantas TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churofat) itu, maka kecaman orang NU plus habaib dan golongan tradisional tak lagi ditujukan kepada Muhammadiyah namun kepada apa yang mereka sebut Wahabi. Tetapi orang tidak takut sama sekali terhadap lontaran-lontaran ataupun kecaman NU, karena sesama NU saja sangat sering konflik. Bahkan banyak pula yang bosan (Jawa: jeleh) dengan NU, hingga mereka meninggalkan induknya itu. Ada yang lari ke pemahaman yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan manhaj (system pemahaman) salafus sholih, tapi sebaliknya tak sedikit yang lari ke liberal sekalian. Yang liberal ini masih cocok dengan induknya yang sebagian masih gemar bergabung dan membela orang-orang kafir atau sesat. Kasus terkini tentang kafirin Ahmadiyah yang mereka bela, mencerminkan kondisi watak gawan bayi mereka yang suka berkasih mesra dengan kafirin ataupun yang sesat-sesat seperti PKI zaman Soekarno. Makanya waktu Gus Dur jadi presiden, dia mati-matian membela PKI yang organisasinya sudah dikubur.

NU (Nahdlatul Ulama) yang lahir tahun 1926, justru mau menghidupkan hal-hal yang oleh Muhammadiyah (setidaknya sejak 1912) mau diberantas. Tak bisa dihindari, adanya kesan bahwa NU lahir di atas potensi konflik. Terbukti, hingga kini, berbagai konflik lahir silih berganti dari tubuh NU. Bila di awal-awal kemerdekaan NU menjadi bagian dari Masyumi, namun di tahun 1952, NU memisahkan diri dari Masyumi dan sejak itu resmi menjadi parpol Islam yang berdiri sendiri. Bukan hanya pisah dengan Masyumi, namun NU bergabung dalam apa yang disebut Nasakom (Nasionalis, Agama –NU– dan Komunis), dan sampai ada lagu wajib untuk anak-anak sekolah, berjudul Nasakom bersatu, hancurkan kepala batu; maksudnya –kepala batu itu– adalah Masyumi. Sudah jelas-jelas NU sampai berserikat seperti itu, namun oleh PKI, orang-orang NU juga menjadi sasaran utama dalam bidikan untuk dibunuh di masa lalu. Ini jelas bernuansa konflik di satu sisi dengan yang satu madzhab ataupun dengan Muslimin lain, dan di satu sisi lagi kaum NU itu kadang sangat bersemangat untuk rangkulan dengan kafirin seperti PKI dan Ahmadiyah, atau penjahat internasional sekalipun seperti Yahudi. Makanya begitu orang NU ada yang jadi presiden yakni Gus Dur, maka buru-buru dia akan membuka hubungan diplomatic dengan Israel –alhamdulillah belum terlaksana, sudah terlanjur Gus Dur diploritkan dari kursi kepresidenan, namun dia telah meresmikan budaya kemusyrikan, Konghuchu, dijadikan agama, dan meresmikan kekafiran lain yang sudah dilarang Presiden Sukarno 1962 yakni Bahai.

Di tahun 1973, ketika pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan fusi untuk berbagai parpol, maka NU pun berfusi bersama sejumlah parpol Islam lainnya ke dalam wadah baru bernama PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Namun di tahun 1983, NU mulai meninggalkan PPP. Tidak semua warga NU setuju NU keluar dari PPP. Sebagian ada yang setuju, sebagian lain menolak. Ini juga bernuansa konflik.

Keputusan keluar dari PPP diperkuat melalui Muktamar ke-27 di Situbondo, yang menegaskan bahwa NU meninggalkan kegiatan politik praktis, kembali kepada khittah 1926. Tapi di satu sisi NU mempelopori diterimanya Pancasila sebagai asas tunggal, sebuah kegiatan yang tak jauh dari aroma politik praktis. Meski secara formal NU sebagai lembaga tidak terlibat politik praktis, namun secara individual warga NU dipersilakan berkiprah di parpol manapun. Ada yang bertahan di PPP, ada yang masuk Golkar, bahkan PDI.

Rupanya NU tidak tahan puasa berpolitik paktis. Maka di tahun 1998, tak lama setelah Soeharto lengser, PBNU memfasilitasi lahirnya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Kebijakan tersebut mengundang pro dan kontra di kalangan warga NU sendiri. Akibatnya, lahirlah Partai Nahdlatul Ummat (PNU), Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (Partai SUNI). Sementara itu, sebagian warga NU lainnya ada yang tetap bertahan di PPP, Golkar dan PDI.

Ketika PKB dipimpin oleh Matori Abdul Jalil (mendiang), kemudian terjadi konflik antara Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dengan Matori. Begitu juga ketika PKB dipegang Alwi Shihab, Gus Dur juga terlibat konflik dengan Alwi Shihab. Bahkan ketika PKB dipegang oleh Muhaimin Iskandar yang masih keponakannya sendiri, Gus Dur juga konflik dengan sang keponakan. Kini, di PKB ada dua kubu. Yang satu melawan Gus Dur, kubu lainnya pro Gus Dur. Dari sini, nuansa konflik juga terasa pekat.

Ketika Gus Dur terpilih sebagai Presiden RI ke-4 menggantikan BJ –Baharuddin Jusuf– Habibie, terjadi konflik antara Gus Dur dengan berbagai kalangan. Antara lain Gus Dur terlibat konflik dengan M.Amien Rais (Ketua MPR RI), Akbar Tanjung (Ketua DPR RI), dan Megawati Sukarno Putri (Wakil Presiden RI pendamping Gus Dur).

Selain berkonflik dengan wakilnya sendiri (Megawati), Gus Dur juga terlibat konflik dengan sejumlah menterinya yang kemudian dipecat. Lebih jauh, Gus Dur terlibat konflik dengan sejumlah Ulama dan Habaib, termasuk konflik terbuka antara Gus Dur dengan Aryanti Boru Sitepu dan Lies Farida (keduanya diduga mantan pasangan selingkuh alias zinanya Gus Dur). Bahkan Gus Dur juga terlibat konflik dengan Jenderal Rusdihardjo mantan Kapolri, padahal yang mengangkat Rusdihardjo sebagai Kapolri ya Gus Dur sendiri.

Dalam kasus Ahmadiyah, sebagian kyai NU ada yang mendukung Ahmadiyah, berupa penolakan terhadap rekomendasi Bakor Pakem yang melarang kegiatan Ahmadiyah. Gus Dur bahkan sesumbar, selama masih hidup, ia akan membela Ahmadiyah. Betapa beraninya orang ini, mempertaruhkan umurnya untuk membela kelompok pengikut nabi palsu, yang menurut Islam di zaman Khalifah Abu Bakar diperangi dengan 10.000 tentara Islam, dalam kasus penyerangan terhadap nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab dan pengikut-pengikutnya di Yamamah. (Baca selengkapnya di Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, 2008). Sebagian kyai NU lainnya mendukung pembubaran Ahmadiyah.

Sebagian warga NU ada yang bersuara nyaring agar Departemen Agama dibubarkan. Tetapi ketika menteri agamanya dari NU maka muka-muka orang NU pun banyak yang tampaknya menjadi penggede di sana dari tingkat eselon tinggi sampai bawah. Model kenduri semacam ini sudah hafal dibenak orang NU.

Yang meminta agar MUI (Majelis Ulama Indonesia) dibubarkan juga orang NU. Sebaliknya yang menjaga (melakukan ronda) di tempat pelacuran terbesar di Asia Tenggara, di Surabaya, ketika ada isu apa yang disebut provokator tahun 2000, juga pemuda NU alias Anshor atau Banser dan juga pemuda Muhammadiyah. Memang belakangan Muhammadiyah juga sudah banyak yang ikut-ikutan kurang nggenah. Bahkan Ulil Abshar Abdalla (generasi muda NU yang juga masih keponakan Gus Dur?), pernah menyebut MUI tolol dan konyol karena mengeluarkan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah. Padahal, Ketua Umum MUI dijabat oleh KH Sahal Mahfudz dari NU yang dulu membela Ulil. Dulu, tahun 2002, Ulil pernah hendak dihakimi oleh sejumlah kyai NU karena pemikiran-pemikiannya yang nyeleneh, namun dibela oleh KH Sahal Mahfudz, sehingga Ulil terbebas dari sanksi. Begitu juga dengan KH Ma’ruf Amien anggota Wantimpres yang gigih mendorong diterbitkannya SKB tiga menteri tentang pelarangan Ahmaidyah, beliau juga orang NU.

Lakon simpatisan Gus Dur lebih merusak

Aksi yang dilakukan FPI di Monas 01 Juni 2008 lalu, belum seberapa bila dibandingkan dengan aksi kekerasan yang dilakukan Pasukan Berani Mati (PBM) di dalam membela Gus Dur yang kala itu (2001) hendak dilengserkan masyarakat. Aksi FPI jelas merupakan reaksi atas provokasi AKKBB, yang mencemooh dengan sebutan laskar kafir, dan beberapa bentuk provokasi lainnya. Dan dalam hal ini, FPI memperjuangkan dibubarkannya Ahmadiyah, sedangkan AKKBB justru mencegah terbitnya SKB Tiga Menteri tentang pelarangan Ahmadiyah.

Berbeda dengan FPI yang memperjuangkan kepentingan umat, Pasukan Berani Mati dan sejumlah kyai NU kala itu (2001) jelas-jelas membela sosok Gus Dur. Pembelaan tersebut selain diwujudkan dengan aneka macam aksi, juga diiringi dengan sikap asal membela sejadi-jadinya, tidak peduli lagi dengan siapa yang benar dan siapa yang salah.

Bentuk-bentuk pembelaan itu antara lain ada yang berupa pernyataan mau menyantet para penentang Gus Dur. Ada yang mengadakan pengrusakan sarana-sarana umat Islam seperti merusak masjid, madrasah, dan kantor-kantor milik Muhammadiyah plus Al-Irsyad serta HMI di berbagai tempat. Bentuk pembelaan anarkis lainnya adalah menghalangi jalan dengan menebangi pohon lalu dibentangkan ke sepanjang jalan di sebagian wilayah Jawa Timur. Juga, penutupan pelabuhan penyeberangan Ketapang-Gilimanuk yang menghubungkan Jawa-Bali.

Ada juga sejumlah kyai pendukung Gus Dur meluangkan waktu kumpul-kumpul untuk mencarikan hukum dari kitab-kitab kuning (kitab berbahasa Arab biasanya kertasnya berwarna kuning) supaya para penggoyang Gus Dur yang menginginkan Gus Dur mundur dari kursi kepresidenan itu dihukumi sebagai bughat (pemberontak). Kalau sudah dihukumi bughat, maka pemerintahan Islam boleh memeranginya.

Menurut Republika edisi 20 Maret 2001, ada sekitar 20 ulama NU Jawa Timur, pada hari Senin tanggal 19 Maret 2001, mengkhususkan diri berkumpul membahas hukum agama tentang bughat. Mereka menilai situasi politik yang ada sudah menjurus ke arah bughat kepada pemerintahan yang sah. Pertemuan dipimpin Wakil Rais Syuriyah PWNU Jatim, KH Ahmad Subadar.

Ini jelas mempolitisir agama (Islam) untuk kepentingan sendiri. Selama ini NU menolak penegakkan syari’at Islam. Bahkan ketika mendirikan PKB, asasnya Pancasila, bukan Islam. Tetapi ketika Gus Dur digoyang dari kedudukannya, mereka mencari-cari dalil agar para penggoyang Gus Dur bisa dimasukkan ke dalam kategori bughat. Padahal yang dimaksud dengan (kaum) bughat ialah orang-orang yang menolak (memberontak) kepada Imam (pemimpin pemerintahan Islam). Adapun yang dikatakan Imam ialah pemimpin umat Islam yang mengurusi soal-soal kenegaraan dan keagamaanya. Lha Gus Dur bukan pemimpin Islam.

Lagi pula, untuk bisa disebut bughat, harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, kelompok itu mempunyai kekuatan bala tentara serta senjata yang dapat digunakan untuk melakukan pemberontakan terhadap Imamnya. Kedua, kelompok itu mempunyai pimpinan yang ditaati oleh anggota-anggotanya. Ketiga, mereka berbuat demikian, disebabkan oleh timbulnya perbedaan pendapat dengan sang Imam mengenai politik pemerintahan, sehingga mereka beranggapan bahwa memberontak menjadi suatu keharusan.

Kalau FPI yang memukuli sekitar puluhan orang anggota AKKBB –yang memulai insiden dengan olok-olok dan provokasi itu– kemudian harus menjalani proses hukum dan bahkan diancam mau dibubarkan segala, seharusnya justru AKKBB yang telah menyakiti hati dan menghina FPI (yang mencemooh dengan sebutan laskar kafir, dan beberapa bentuk provokasi lainnya) itu mestinya ditangkapi, diselidiki dan diproses secara hukum. Karena ada pula pasal penghinaan. Lagi pula menyakiti secara psikis ideologis serta menghina itu lebih sakit dibanding menyakiti badan yang dapat diobati kemudian sembuh. Dan dari sisi lain, justru AKKBB dan Ahmadiyah –yang telah menodai Islam– itu jelas adalah pokok apinya, pangkal penyebabnya. Kenapa reaksi FPI yang hanya ibarat asap justru diuber, sedang apinya yakni AKKBB dan Ahmadiyah seakan dimanjakan?

Dari segi perusakan dan kekerasan, bagaimana dengan Pasukan Berani Mati yang tindakannya jauh lebih merusak dan jauh lebih meresahkan? Seharusnya dibubarkan juga, dong. Namun kenyataannya, selang tujuh tahun kemudian, tidak ada satu pun anggota PBM yang diproses hukum, padahal kerusakan dan kengerian yang mereka timbulkan jauh lebih dahsyat.

Kalau pemerintah mau memberantas sumber konflik horizontal, jangan menempuh cara yang salah sebagaimana memberantas minuman keras. Dalam kasus memberantas minuman keras, pemerintah (aparat kepolisian) merazia penjualan minuman keras di warung-warung kecil, tapi membiarkan pabriknya terus berproduksi. Seharusnya, yang ditutup dan dibubarkan adalah pabriknya, bukan warungnya. Uraian ini telah membeberkan pabriknya. Dan keliru pula bila yang dianggap pabriknya itu Islam, hingga keliru pula bila disebut konflik sesama Islam.

Akar masalahnya, Ahmadiyah yang telah terbukti menodai Islam yakni mengaku Islam namun punya nabi sendiri (Mirza Ghulam ahmad) dan kitab suci sendiri (Tadzkirah) diminta oleh Ummat Islam untuk dibubarkan. Sementara itu pihak yang suka bikin onar dan konflik tampak membela Ahmadiyah. Maka begitu ada reaksi dari FPI yang menginginkan dibubarkannya Ahmadiyah akibat provokasi dari AKBB yang didukung oleh tukang konflik yang pro Ahmadiyah, jadi kesempatan empuk bagi tukang konflik itu untuk membalik-balikkan masalah.

Dengan kenyataan seperti itu, justru kini tampaknya yang terjadi adalah memanjakan para wadyabala tukang konflik pembela Ahmadiyah penoda Islam. Jadi waktu lalu mereka telah semaunya membuat kerusakan tidak diapa-apakan, kini mereka semaunya membela perusak agama justru dimanjakan. Kok negeri ini tunduk amat terhadap para perusak macam itu ya. Apakah negeri ini takut sama jimat mereka? Betapa memalukannya.

Tempak ada benarnya kata orang, yang dilakukan belum hukum beneran, tapi baru hukum belah bambu. Yaitu yang satu diinjak, dan yang satunya diangkat. Mungkin giliran FPI anti Ahmadiyah yang diinjak, sedang pelaku penodaan agama yakni Ahmadiyah, dan para pembela criminal agama itu yakni AKKBB, Gus Dur, GP Anshor, Garda Bangsa, PBM dan semacamnya justru diangkat.

Menyakitkan benar, wahai saudara-saudara kami Muslimin sedunia! (haji/tede/mua)



http://www.nahimunkar.com/sumber-konflik-dan-penoda-agama/