Musibah Bencana yang terjadi di Mentawai dan Merapi mengakibatkan banyak korban, ratusan orang menjadi korban tak terkecuali juru kunci mbah Maridjan. Duka dirasakan seluruh rakyat Indonesia, bantuan dari berbagai pihak berdatangan dilokasi bencana. Tak ketinggalan ormas Front Pembela Umat Islam (FPI) menggalang solidaritas kemanusian untuk membantu para korban.

“Kami membuka posko bantuan dan relawan untuk 3 lokasi, yaitu untuk bencana Tsunami di Mentawai, bencana gunung Merapi di Jogja dan siaga Banjir di Jakarta," ujar Koordinator Siaga Bencana FPI, Ustadz Mamam.

Ustadz Maman menambahkan, lebih dari 300 anggota DPD FPI Jogjakarta sudah terjun mengirimkan bantuan dan membantu evakuasi korban, serta pembersihan debu di masjid-masjid. Selain itu, segera menyusul relawan dan bantuan dari wilayah FPI Tasikmalaya, Jawab Barat dan DKI Jakarta.

PEKANBARU (Rakyat Riau)- Ketua DPD Front Pembela Islan (FPI) Provinsi Riau Zulhusni Domo, menghimbau masyarakat di Riau tidak terprovokasi oleh pemberitaan di beberapa media terhadap peristiwa FPI di Jakarta. Ia meminta seluruh komponen, baik pemerintah, aparat kepolisian, ormas dan masyarakat untuk melihat kasus bentrokan FPI dengan Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB), secara obyektif.

Zulhusni Domo juga menegaskan bahwa pihaknya menolak keras desakan yang dilakukan oleh beberapa masyarakat untuk membubarkan FPI dan ormas Islam lainnya. "Terkait kasus yang terjadi di Jakarta, FPI Riau menghimbau masyarakat di Riau untuk tidak terprovokasi. Kita juga meminta semua pihak untuk bersikap objektif dalam melihat kasus ini," ujarnya kepada Rakyat Riau, di kantor DPW FPI Pekanbaru, kemarin.

Ia mengatakan, seharusnya yang mesti dibubarkan tersebut bukan FPI akan tetapi Ahmadiyah.
Terkait banyaknya sweeping yang dilakukan oleh ormas di beberapa wilayah di tanah air terhadap FPI, Zulhusni meyakini peristiwa serupa tidak akan terjadi di Riau. Apalagi pihaknya, saat ini telah melakukan komunikasi yang intensif dengan beberapa ormas Islam di Riau dan di Pekanbaru.

"Walaupun demikian, jika ada yang ingin membubarkan FPI di Riau, kita akan tantang mereka, iapapun itu. Selain itu kita juga tidak akan ambil diam kalau ada orang-orang yang ingin mencelakai baik Ketua FPI, anggota, rumah atau menyerang kantor. Karena hingga saat ini kita tidak pernah melanggar peraturan dan hukum, dan organisasi kita ini legal," ujar Zulhusni, didampingi ketua DPW FPI Pekanbaru M Harris Kampai.

FPI menilai insiden "Monas" beberapa hari lalu akibat pemerintah yang tidak tegas terhadap pembubaran aliran Ahmadiyah di Indonesia.

Di Riau, Zulhusni Domo mengklaim jumlah anggota FPI di Riau mencapai 30 ribu orang. "Kalau jumlah Kartu Tanda Anggota (KTA) yang telah kita keluarkan mencapai 30 ribu KTA. Akan tetapi itu diluar jumlah simpatisan FPI. Mereka ini tersebut di 9 kabupaten/kota. Diantaranya Pekanbaru, Duri, Rengat, dan Kampar. Oleh sebab itu kita meminta anggota yang ada di daerah untuk tidak terpancing," ujar Zulhusni lagi.

Rencananya, Jumat besok, FPI Riau akan melakukan aksi siaga di Masjid Agung Pekanbaru serta melakukan pawai keliling Pekanbaru. Ia menjamin aksi pawai nanti tidak akan ada aksi anarkis. (jel/gus)

FPI Riau Menolak Dibubarkan

Pekanbaru, CyberNews. Pembekuan organisasi Front Pembela Islam (FPI) di tingkat pusat membawa pengaruh pula pada kepengurusan di tingkat daerah.

Saat ini sudah sejumlah organisasi itu di daerah yang dibekukan. Namun FPI Riau enggan bila harus mengalami nasib sama.

''Kami FPI Riau menyatakan menolak bila dibubarkan,'' ungkap Ketua FPI Riau Zulhusni Domo, di Pekanbaru, Rabu (4/6).

Menurut Zulhusni, FPI Riau yang dibentuk sejak 2005 lalu, akan mempertahankan organisasi tersebut sampai titik darah penghabisan bila ada upaya dan tekanan-tekanan dari berbagai pihak yang ingin membubarkan organisasi ini.

''Kalau ada aksi pemaksaan kehendak atau intimidasi yang menginginkan agar organisasi ini dibubarkan, kami akan menentang keras. Termasuk bila ada aksi yang bersikap anarkis ingin membubarkan organisasi ini, kami akan siap untuk mempertahankannya,'' kata Zulhusni.

Kendati demikian, Zulhusni mengakui sejauh ini pihaknya memang belum menerima adanya tekanan-tekanan dari pihak manapun. Kendati demikian pihaknya tetap mewaspadai munculnya kemungkinan tersebut.

Diakuinya, keberadaan FPI di Riau selama ini tidak pernah berlaku anarkis yang melanggar norma-norma di tengah-tengah masyarakat. Begitu pun yang terjadi di pusat.

''Isu yang menerpa FPI Pusat sehingga berujung pada tuntutan pembubaran tersebut hanyalah fitnah belaka. Dalam hal ini FPI di fitnah. Jadi kami tak bisa terima bila dibubarkan,'' tegas Zulhusni lagi.

Menegakkan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

Beramar maruf nahi dan bernahi mungkar adalah satu amalan yang mulia yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Taala dalam firman-Nya dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hadits haditsnya. Allah berfirman dalam surat Ali imran : 104 yang artinya “Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” Beramar maruf dan bernahi mungkar juga sebagai ciri khas ummat ini, yang mereka sebaik-baik ummat di muka bumi ini. Dan setiap muslim yang bersegera untuk mengamalkan ciri khas ummat ini, ia akan mendapat kemuliaan dan berhak mendapat pujian Allah Subhanahu wa Taala. Tatkala Umar bin Khatab radiyallahu anhu membaca ayat “Kalian adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf, dan mencegah yang mungkar” (Ali Imran : 110)

Beliau berkata : “Barang siapa yang ingin menjadi golongan ummat ini, maka hendaklah ia tunaikan syarat yang Allah sebutkan. “Begitu mulia akhlak ini, hingga setiap muslim harus memilikinya. Karena hanya orang-orang kafir dan yang semisal dengan mereka yang tidak mau mengamalkan akhlak ini, akibatnya mereka mendapatkan kemurkaan dan laknat Allah Subhanahu wa Taala. Allah berfirman : “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain tidak melarang dari kemungkaran yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka lakukan.” (Al-Maidah : 78,79)

Rasulullah shallallahu alihi wa sallam menjelaskan dalam sabda beliau : “Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia merubah dengan tangannya. Kalau ia tidak mampu maka dengan lisannya., dan kalau juga tidak mampu maka dengan hatinya, yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim). Hadits ini menunjukan wajibnya beramar maruf dan bernahi mungkar dengan segala daya dan upaya, dan kewajiban ini untuk seluruh kaum muslimin sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing.

Judul Buku : Dialog FPI Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Menjawab berbagai tuduhan terhadap Gerakan Nasional Anti Ma’siat di Indonesia
Pengarang : Al – Habib Muhammad Rizieq Bin Husein Syihab, MA
Cetakan : Pustaka Ibnu Sidah, Jakarta Indonesia

Sekelumit Tentang Penulis :
Al – Habib Muhammad Rizieq Bin Husein Syihab, kelahiran Jakarta, 26 Robi’ul Akhir 1385 H / 24 Agustus 1965 M. Ia menyelesaikan pendidikan S1 bidang fiqh dan ushul fiqh di king Saud University- Riyad, Saudi Arabia. Dan meraih S2 bidang syari’ah di university Kuala Lumpur-Malaysia. Kini kandidat Doktor di bidang dan universitas yang sama.

Penulis adalah seorang sarjana yang aktif sebagai pendidik di sekolah, pengajar di mjelis ta’lim, dai di atas mimbar, pimpinan organisasi, orator dalam aksi, panglima di medan juang, penggubah syair Islami, penulis buku dan Pembina para preman dan narapidana di berbagai lembaga pemasyarakatan. Sejak mendeklarasikan dan memimpin Front Pembela Islam tahun 1998 hingga kini, dirinya senantiasa menjadi sasaran tembak, kritik, kecaman, tuduhan, tudingan, hinaan, fitnah dan cacimaki, bahkan terror, ancaman dan intimidasi serta target pembunuhan.

Di tahun 2002, penulis dijebloskan dalam sel tahanan polda metro jaya. Lalu pada tahun 2003 dipenjarakan di rumah tahanan salemba. Kini di tahun 2008 kembali dikurung dalam sel tahanan polda metro jaya. Sebabnya sederhana, da’wahnya dianggap provokasi dan hasutan, Amar Ma’ruf Nahi Muingkarnya dianggap radikal dan anarkis, sedang kritik dan protesnya dianggap penghinaan dn penistaan terhadap penguasa.

Front Pembela Islam (FPI) terus memantapkan langkah perjuangannya. Melalui Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) ke-II yang digelar di Villa Baladegana, Gunung Geulis, Bogor, pada tanggal 8-9 Oktober 2010, FPI bertekad akan terus bersemangat memperjuangkan agama Allah serta membangun loyalitas disiplin dan tanggung jawab perjuangan.

"Kita tidak boleh berhenti, walaupun semua orang mencaci maki, FPI akan tetap sabar dan ikhlas dalam berjuang", ungkap Ketua umum DPP FPI Habib Muhammad Rizieq Syihab dalam pidato sambutannya.

Habib Rizieq juga mengingatkan semua pengurus FPI agar terus membenahi diri agar ke depan dapat lebih baik lagi. sementara kepada para anggota FPI di seluruh Indonesia, Habib berpesan perlunya disegarkan kembali tentang loyalitas, disiplin dan tanggung jawab anggota terhadap perjuangan.

Reaksi FPI (Front Pembela Islam) –anti Ahmadiyah– terhadap AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) –pembela Ahmadiyah– di Monas, Jakarta, tanggal 01 Juni 2008 lalu, kemudian ada aksi pembelaan terhadap AKKBB yang dilakukan oleh Garda Bangsa terhadap FPI. Bukan hanya Garda Bangsa, tetapi ada juga laskar dari GP Anshor dan PBM (Pasukan Berani Mati) yang melakukan aksi serupa.

Dari situ timbul kesan, seolah-olah umat Islam berkonflik dengan sesama umat Islam. Padahal, kesan seperti itu sama sekali keliru. Sebab, FPI dan Habib Rizieq bila dipahami secara madzhab adalah bagian tak terpisahkan dari NU (Nahdlatul Ulama). Bahkan FBR (Forum Betawi Rempug) yang selama ini seakan dimaknai sebagai ormas anarkis, bila ditinjau dari sudut pandang kultural dan madzhab, mereka itu komunitas NU atau Islam tradisional pro adat local –yang belum tentu sesuai dengan Islam– juga.

Kasusnya, FPI anti Ahmadiyah, AKKBB beserta GP Anshor dan PBM membela Ahmadiyah.

Sejak berdirinya, NU mengusung madzhab Syafi’i. Dengan tujuan, untuk melestarikan hal-hal yang menjadi tradisi masyarakat. Tradisi-tradisi tersebut bila ditinjau dalam perspektif Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih, sesungguhnya menyimpang dari Islam. Dan biasanya disebut bid’ah, takhayul dan khurafat, bahkan kemusyrikan.

Artinya, Habib Rizieq itu unsure sejenis dengan NU. Gus Dur memang NU. FPI itu sejenis dengan NU. Begitu juga dengan Garda Bangsa, Anshor dan Pasukan Berani Mati, adalah buatan orang-orang NU dan untuk NU. Dari sini semoga jelas duduk soalnya, siapa yang tengah berkonflik itu?

Seorang peneliti asal Belanda yang pernah melakukan studi tentang ormas NU (Nahdlatul Ulama), Karel A. Steenbrink mengatakan, Nahdlatul Ulama yang didirikan 31 Januari 1926, muncul sebagai protes terhadap gerakan reformasi, juga dari kebutuhan untuk mempunyai organisasi yang membela mazhab Syafi’i dan menyaingi organisasi Muhammadiyah dan Al-Irsyad.

Pernyatan senada juga disampaikan oleh peneliti Indonesia, H. Endang Saifuddin Anshari, MA. Beliau mengatakan, Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya, di bawah pimpinan Syaikh Hasyim Asy’ari, sebagai reaksi terhadap gerakan pembaharuan yang dibawa terutama oleh Muhammadiyah dan lain-lain.

Kita menyaksikan dalam kehidupan, sering diungkapkan oleh orang NU sendiri tempo dulu dan kini diulang lagi, yang mereka hadapi adalah Wahabi, yang anti kemusyrikan, bid’ah, khurofat, takhayul dan semacamnya. Mereka (kaum nahdliyin, habaib, dan golongan tradisional) mempertahankan hal-hal yang menyimpang dari Islam itu dalam acara-acara bid’ah pula, misalnya tahlilan dan maulidan.

Muhammadiyah didirikan tahun 1912 oleh KH Ahmad Dahlan, empat belas tahun sebelum berdirinya NU. Dengan tujuan, memberantas bid’ah, takhayul dan khurafat, bahkan kemusyrikan yang saat itu merajalela di dalam kehidupan masyarakat. Sayangnya, kini Muhammadiyah kurang gaungnya dalam hal memberantas TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churofat) itu, maka kecaman orang NU plus habaib dan golongan tradisional tak lagi ditujukan kepada Muhammadiyah namun kepada apa yang mereka sebut Wahabi. Tetapi orang tidak takut sama sekali terhadap lontaran-lontaran ataupun kecaman NU, karena sesama NU saja sangat sering konflik. Bahkan banyak pula yang bosan (Jawa: jeleh) dengan NU, hingga mereka meninggalkan induknya itu. Ada yang lari ke pemahaman yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan manhaj (system pemahaman) salafus sholih, tapi sebaliknya tak sedikit yang lari ke liberal sekalian. Yang liberal ini masih cocok dengan induknya yang sebagian masih gemar bergabung dan membela orang-orang kafir atau sesat. Kasus terkini tentang kafirin Ahmadiyah yang mereka bela, mencerminkan kondisi watak gawan bayi mereka yang suka berkasih mesra dengan kafirin ataupun yang sesat-sesat seperti PKI zaman Soekarno. Makanya waktu Gus Dur jadi presiden, dia mati-matian membela PKI yang organisasinya sudah dikubur.

NU (Nahdlatul Ulama) yang lahir tahun 1926, justru mau menghidupkan hal-hal yang oleh Muhammadiyah (setidaknya sejak 1912) mau diberantas. Tak bisa dihindari, adanya kesan bahwa NU lahir di atas potensi konflik. Terbukti, hingga kini, berbagai konflik lahir silih berganti dari tubuh NU. Bila di awal-awal kemerdekaan NU menjadi bagian dari Masyumi, namun di tahun 1952, NU memisahkan diri dari Masyumi dan sejak itu resmi menjadi parpol Islam yang berdiri sendiri. Bukan hanya pisah dengan Masyumi, namun NU bergabung dalam apa yang disebut Nasakom (Nasionalis, Agama –NU– dan Komunis), dan sampai ada lagu wajib untuk anak-anak sekolah, berjudul Nasakom bersatu, hancurkan kepala batu; maksudnya –kepala batu itu– adalah Masyumi. Sudah jelas-jelas NU sampai berserikat seperti itu, namun oleh PKI, orang-orang NU juga menjadi sasaran utama dalam bidikan untuk dibunuh di masa lalu. Ini jelas bernuansa konflik di satu sisi dengan yang satu madzhab ataupun dengan Muslimin lain, dan di satu sisi lagi kaum NU itu kadang sangat bersemangat untuk rangkulan dengan kafirin seperti PKI dan Ahmadiyah, atau penjahat internasional sekalipun seperti Yahudi. Makanya begitu orang NU ada yang jadi presiden yakni Gus Dur, maka buru-buru dia akan membuka hubungan diplomatic dengan Israel –alhamdulillah belum terlaksana, sudah terlanjur Gus Dur diploritkan dari kursi kepresidenan, namun dia telah meresmikan budaya kemusyrikan, Konghuchu, dijadikan agama, dan meresmikan kekafiran lain yang sudah dilarang Presiden Sukarno 1962 yakni Bahai.

Di tahun 1973, ketika pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan fusi untuk berbagai parpol, maka NU pun berfusi bersama sejumlah parpol Islam lainnya ke dalam wadah baru bernama PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Namun di tahun 1983, NU mulai meninggalkan PPP. Tidak semua warga NU setuju NU keluar dari PPP. Sebagian ada yang setuju, sebagian lain menolak. Ini juga bernuansa konflik.

Keputusan keluar dari PPP diperkuat melalui Muktamar ke-27 di Situbondo, yang menegaskan bahwa NU meninggalkan kegiatan politik praktis, kembali kepada khittah 1926. Tapi di satu sisi NU mempelopori diterimanya Pancasila sebagai asas tunggal, sebuah kegiatan yang tak jauh dari aroma politik praktis. Meski secara formal NU sebagai lembaga tidak terlibat politik praktis, namun secara individual warga NU dipersilakan berkiprah di parpol manapun. Ada yang bertahan di PPP, ada yang masuk Golkar, bahkan PDI.

Rupanya NU tidak tahan puasa berpolitik paktis. Maka di tahun 1998, tak lama setelah Soeharto lengser, PBNU memfasilitasi lahirnya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Kebijakan tersebut mengundang pro dan kontra di kalangan warga NU sendiri. Akibatnya, lahirlah Partai Nahdlatul Ummat (PNU), Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (Partai SUNI). Sementara itu, sebagian warga NU lainnya ada yang tetap bertahan di PPP, Golkar dan PDI.

Ketika PKB dipimpin oleh Matori Abdul Jalil (mendiang), kemudian terjadi konflik antara Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dengan Matori. Begitu juga ketika PKB dipegang Alwi Shihab, Gus Dur juga terlibat konflik dengan Alwi Shihab. Bahkan ketika PKB dipegang oleh Muhaimin Iskandar yang masih keponakannya sendiri, Gus Dur juga konflik dengan sang keponakan. Kini, di PKB ada dua kubu. Yang satu melawan Gus Dur, kubu lainnya pro Gus Dur. Dari sini, nuansa konflik juga terasa pekat.

Ketika Gus Dur terpilih sebagai Presiden RI ke-4 menggantikan BJ –Baharuddin Jusuf– Habibie, terjadi konflik antara Gus Dur dengan berbagai kalangan. Antara lain Gus Dur terlibat konflik dengan M.Amien Rais (Ketua MPR RI), Akbar Tanjung (Ketua DPR RI), dan Megawati Sukarno Putri (Wakil Presiden RI pendamping Gus Dur).

Selain berkonflik dengan wakilnya sendiri (Megawati), Gus Dur juga terlibat konflik dengan sejumlah menterinya yang kemudian dipecat. Lebih jauh, Gus Dur terlibat konflik dengan sejumlah Ulama dan Habaib, termasuk konflik terbuka antara Gus Dur dengan Aryanti Boru Sitepu dan Lies Farida (keduanya diduga mantan pasangan selingkuh alias zinanya Gus Dur). Bahkan Gus Dur juga terlibat konflik dengan Jenderal Rusdihardjo mantan Kapolri, padahal yang mengangkat Rusdihardjo sebagai Kapolri ya Gus Dur sendiri.

Dalam kasus Ahmadiyah, sebagian kyai NU ada yang mendukung Ahmadiyah, berupa penolakan terhadap rekomendasi Bakor Pakem yang melarang kegiatan Ahmadiyah. Gus Dur bahkan sesumbar, selama masih hidup, ia akan membela Ahmadiyah. Betapa beraninya orang ini, mempertaruhkan umurnya untuk membela kelompok pengikut nabi palsu, yang menurut Islam di zaman Khalifah Abu Bakar diperangi dengan 10.000 tentara Islam, dalam kasus penyerangan terhadap nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab dan pengikut-pengikutnya di Yamamah. (Baca selengkapnya di Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, 2008). Sebagian kyai NU lainnya mendukung pembubaran Ahmadiyah.

Sebagian warga NU ada yang bersuara nyaring agar Departemen Agama dibubarkan. Tetapi ketika menteri agamanya dari NU maka muka-muka orang NU pun banyak yang tampaknya menjadi penggede di sana dari tingkat eselon tinggi sampai bawah. Model kenduri semacam ini sudah hafal dibenak orang NU.

Yang meminta agar MUI (Majelis Ulama Indonesia) dibubarkan juga orang NU. Sebaliknya yang menjaga (melakukan ronda) di tempat pelacuran terbesar di Asia Tenggara, di Surabaya, ketika ada isu apa yang disebut provokator tahun 2000, juga pemuda NU alias Anshor atau Banser dan juga pemuda Muhammadiyah. Memang belakangan Muhammadiyah juga sudah banyak yang ikut-ikutan kurang nggenah. Bahkan Ulil Abshar Abdalla (generasi muda NU yang juga masih keponakan Gus Dur?), pernah menyebut MUI tolol dan konyol karena mengeluarkan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah. Padahal, Ketua Umum MUI dijabat oleh KH Sahal Mahfudz dari NU yang dulu membela Ulil. Dulu, tahun 2002, Ulil pernah hendak dihakimi oleh sejumlah kyai NU karena pemikiran-pemikiannya yang nyeleneh, namun dibela oleh KH Sahal Mahfudz, sehingga Ulil terbebas dari sanksi. Begitu juga dengan KH Ma’ruf Amien anggota Wantimpres yang gigih mendorong diterbitkannya SKB tiga menteri tentang pelarangan Ahmaidyah, beliau juga orang NU.

Lakon simpatisan Gus Dur lebih merusak

Aksi yang dilakukan FPI di Monas 01 Juni 2008 lalu, belum seberapa bila dibandingkan dengan aksi kekerasan yang dilakukan Pasukan Berani Mati (PBM) di dalam membela Gus Dur yang kala itu (2001) hendak dilengserkan masyarakat. Aksi FPI jelas merupakan reaksi atas provokasi AKKBB, yang mencemooh dengan sebutan laskar kafir, dan beberapa bentuk provokasi lainnya. Dan dalam hal ini, FPI memperjuangkan dibubarkannya Ahmadiyah, sedangkan AKKBB justru mencegah terbitnya SKB Tiga Menteri tentang pelarangan Ahmadiyah.

Berbeda dengan FPI yang memperjuangkan kepentingan umat, Pasukan Berani Mati dan sejumlah kyai NU kala itu (2001) jelas-jelas membela sosok Gus Dur. Pembelaan tersebut selain diwujudkan dengan aneka macam aksi, juga diiringi dengan sikap asal membela sejadi-jadinya, tidak peduli lagi dengan siapa yang benar dan siapa yang salah.

Bentuk-bentuk pembelaan itu antara lain ada yang berupa pernyataan mau menyantet para penentang Gus Dur. Ada yang mengadakan pengrusakan sarana-sarana umat Islam seperti merusak masjid, madrasah, dan kantor-kantor milik Muhammadiyah plus Al-Irsyad serta HMI di berbagai tempat. Bentuk pembelaan anarkis lainnya adalah menghalangi jalan dengan menebangi pohon lalu dibentangkan ke sepanjang jalan di sebagian wilayah Jawa Timur. Juga, penutupan pelabuhan penyeberangan Ketapang-Gilimanuk yang menghubungkan Jawa-Bali.

Ada juga sejumlah kyai pendukung Gus Dur meluangkan waktu kumpul-kumpul untuk mencarikan hukum dari kitab-kitab kuning (kitab berbahasa Arab biasanya kertasnya berwarna kuning) supaya para penggoyang Gus Dur yang menginginkan Gus Dur mundur dari kursi kepresidenan itu dihukumi sebagai bughat (pemberontak). Kalau sudah dihukumi bughat, maka pemerintahan Islam boleh memeranginya.

Menurut Republika edisi 20 Maret 2001, ada sekitar 20 ulama NU Jawa Timur, pada hari Senin tanggal 19 Maret 2001, mengkhususkan diri berkumpul membahas hukum agama tentang bughat. Mereka menilai situasi politik yang ada sudah menjurus ke arah bughat kepada pemerintahan yang sah. Pertemuan dipimpin Wakil Rais Syuriyah PWNU Jatim, KH Ahmad Subadar.

Ini jelas mempolitisir agama (Islam) untuk kepentingan sendiri. Selama ini NU menolak penegakkan syari’at Islam. Bahkan ketika mendirikan PKB, asasnya Pancasila, bukan Islam. Tetapi ketika Gus Dur digoyang dari kedudukannya, mereka mencari-cari dalil agar para penggoyang Gus Dur bisa dimasukkan ke dalam kategori bughat. Padahal yang dimaksud dengan (kaum) bughat ialah orang-orang yang menolak (memberontak) kepada Imam (pemimpin pemerintahan Islam). Adapun yang dikatakan Imam ialah pemimpin umat Islam yang mengurusi soal-soal kenegaraan dan keagamaanya. Lha Gus Dur bukan pemimpin Islam.